Kehilangan Cahaya

Berbuatlah semaumu, berkatalah semaumu, bahkan raihlah mimpi sebanyak inginmu tapi semuanya… tidak ada artinya bila Allah tidak menyukainya.

—-
Mencoba mengukur jarak jalan yang sudah dilewati. Saat pertama kali bermimpi, saat pertama kali berharap. Tidak peduli apapun yang terjadi, hanya ingin bermimpi dan meraih mimpi. Tidak peduli mereka berkata apa, ku hanya ingin meraih mimpi. Mencoba mengubah asa menjadi nyata. Hingga begitu banyak yang sudah dilewati.
Hingga langkah yang ku tuju perlahan terasa kehilangan arah. Mencoba memahami tapi tak pernah memahami. Mencoba menggenggam tapi seperti menggenggam angin. Mencoba menjaga mimpi dan hati, tapi malah melukai. Melukai dan melepaskan kebaikan yang sempat terberi. Langkah ini justru kerap kali mengacaukan nafas dan hati sendiri.
Layaknya kehilangan langkah yang biasa menberikan arah. Karena bisikan, bisikan yang menjadi kebiasaan, bisikan yang menutup pendengaran. Menjadi keras, menjadi tuli. Sudah tidak bisa membedakan antara berjalan diatas ridhaNya atau tidak. Sudah tidak bisa merasakan berada dilindunganNya atau tidak. Sudah tidak bisa menyadari berada dalam cahayaNya atau tidak. Hingga akhirnya ku terdiam… terjatuh dan terjatuh lagi…
—-
Pernah nggak ketemu kondisi di mana kita sudah jatuh tertimpa tangga, lalu, setelah sekian lama jatuh tangga tersebut, kita belum kunjung tegak berdiri? Tapi justru berkutat dengan masalah seolah terus menghantui. Mudah-mudahan tidak. Dan kalaupun sedang mengalami, mudah-mudahan nuansanya nuansa ujian, bukan azab.
Tapi, bolehlah sedikit khawatir bila memang kenyataan di atas sedang terjadi dalam kehidupan kita, Misalkan, yang kita temukan setiap hari ketidaktenangan, permasalahan, yang datang silih berganti. Di mana semua kondisi nan sulit tersebut membuat kita tidak tenang maka harus kita bawa menjadi bahan pemikiran kenapa itu semua terjadi, justru saat Allah nyatakan Dia Maha Melindungi dan Maha Pemurah.
Kalau kita temukan kemudian bahwa ternyata sumber malapetakanya diri kita sendiri, maka janganlah takut mengakui dan mengungkapkan, memohon ampun dan meminta maaf atas setiap kesalahan. Adalah wajar bila manusia berbuat salah. Yang tidak wajar adalah ketika kita bersikeras, tidak kunjung sadar dan tidak mau berbenah diri. Sebab, selamanya kita akan dirundung kemalangan.
Dinyatakan dalam Al Quran bahwa pelaku perbuatan buruk akan mengalami kegelapan dalam hidupnya. Ibaratnya sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah gelap gulitanya samudera, mereka bahkan tidak dapat melihat tangan dan kakinya sendiri, untuk meraba dan melangkah, walau sesungguhnya dekat. Selama Allah tidak memberikan cahaya kepada kita yang sedang berada dalam kegelapan, selama itu pula kita dikurung dalam kegelapan tersebut. Sulit untuk melangkah, sulit untuk meraba, sulit untuk memahami dan menerima yang terjadi.
Allah Yang Mahabenar lebih dekat daripada urat leher kita hambaNya. Meski begitu, Dia memperlakukan hamba-hambaNya seperti jauh dariNya. Hati orang-orang yang kehilangan cahaya selalu merasa jauh dariNya. Oleh karenanya, mereka cenderung kehilangan arti yang sesungguhnya dalam memahami dan menjalani kehidupan dalam ridhaNya.
Gelapnya kehidupan adalah karena kita sendiri yang menggelapkannya. Allah menerangi jalan kita, kita menggelapkan dengan sikap yang tidak diridhaiNya, melepaskan karunia dan nikmatNya. Allah membelai dengan kasih dan sayangNya, kita membalas dengan mengacuhkan, berdosa dan maksiat kepadaNya.
—–
“Perumpamaan mereka seperti orang yang memantik api. Ketika menjadi terang keadaan di sekeliling mereka, Allah hilangkan cahaya tersebut dan meninggalkan mereka dalam kegelapan yang mereka tidak dapat melihat.” (QS. Al Baqarah : 18).
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber :
Menemukan Allah Di Antara Mereka yang Menderita -Yusuf Mansur.
Shaidul Khathir – Ibnu Al Jauziy

Tulisan Lain   Terkenang (sahabat)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *