Dengan maraknya membicarakan perguruan tinggi idaman, maka ini menjadi “buzz” tersendiri 🙂 . Berbicara sesuatu yang di idamkan atau di impikan biasanya merupakan sesuatu yang ideal. Sesuatu keinginan yang mengawang di langit. Walau begitu, berbicara tentang Perguruan Tinggi idaman, berharap bukanlah sesuatu yang sekedar terawang-awang, tapi tetap menginjak bumi, yang semoga bisa diwujudkan.
Berbicara perguruan tinggi, maka pada umumnya memperhatikan pelaku yang berada di Perguruan Tinggi. Biasanya dua bagian yang sering menjadi gambaran, pertama dosen dan yang kedua adalah mahasiswa. Dosen sebagai pelaku yang memoles input yang ada, inputnya itu adalah mahasiswa, dan outputnya berupa status si mahasiswa yang berubah menjadi Sarjana. Tapi apakah hanya sampai disitu?
Berbicara idaman, juga pasti tetap memperhatikan tujuan utama sebuah perguran tinggi. Yaitu menghasilkan lulusan yang memiliki berperan aktif ke masyarakat sekitar. Bisa berupa menjadi pekerja /karyawan, enterpreneurship, atau dunia sosial. Perguruan tinggi yang baik, bukan hanya bermanfaat bagi internal kampus, tapi juga mampu bermanfaat bagi eksternal kampus. Lingkungan dimana universitas itu berada, yaitu masyarakat.
Tapi, pada kenyataannya mewujudkan perguruan tinggi meraih tujuan utamanya bukanlah suatu yang mudah. Karena memiliki berbagai keterbatasan. Walau begitu, berharap bukan tidak mungkin. Langkah awal yang baik bagi sebuah perguruan tinggi, adalah menentukan tujuan akhir dari perguruan tinggi tersebut yang ingin diberikan dan dihasilkan dari lulusan. Dari tujuan yang ingin diraih, akan terlihat gambaran langkah-langkah penyusunnya. Semakin jelas dan semakin bagus tujuan, biasanya langkah-langkahnya pun terlihat meyakinkan.
Menurut saya beberapa parameter yang mendorong mewujud Perguruan Tinggi idaman :
- Fasilitas yang memadai. Ini menjadi faktor yang cukup penting. Karena fasilitas menjadi alat penentu cepat, tepat, kualitas tidaknya dalam melakukan studi/penelitian yang dilakukan.
- Dosen yang berkualitas (bukan hanya sisi akademik tapi pengalaman yang bersifat praktis).
- Lingkungan yang mendukung. Lingkungan ini dalam arti lingkungan mahasiswa, karena kegiatan mahasiswa bagian dari bentuk sosial dan sosialisasi mahasiswa yang ikut memoles terhadap kepribadian seorang mahasiswa. Karena dalam kegiatan mahasiswa turut membentuk pribadi sosial mahasiswa yang nantinya terlihat dalam dunia kerja (dukungan perguruan tinggi terhadap kegiatan mahasiswa).
- Dan tentunya kurikulum. Kurikulum yang sesuai, kurikulum yang memiliki alur kejelasan, kesesuaian (up-to-date) antara setiap yang diajarkan, dan pada akhirnya alur tersebut mengisi dunia kerja. Kurikulum yang bukan hanya sekedar mahasiswa memiliki dan mengetahui pengetahuan, tapi skill yang memadai, yang memenuhi dunia kerja (link-match). Karena kebanyakan lulusan perguruan tinggi ketika akan memasuki dunia kerja tidak memiliki kesesuaian dengan iklim dunia kerja, dan ini diakui oleh para perusahaan yang melakukan rekrutmen. Di akui adanya gap antara dunia pendidikan dan dunia industri, maka kurikulum yang up-to-date dengan dunia industri menjadi bagian yang cukup penting. Salah satu contoh yang mungkin bisa dilakukan, mewujud seperti halnya inkubator bagi mahasiswa sebelum terjun ke dunia kerja.
Bobot tingginya suatu perguruan tinggi, biasanya bisa dilihat dari ; lulusan yang dihasilkan mudah diserap dunia kerja, penelitian dalam internal kampus yang bernilai, keberadaan kampus tersebut yang memiliki daya manfaat bagi masyarakat dan pandangan / hubungan dari dunia internasional.
Beberapa parameter diatas, diakui dalam penentuan rangking sebuah perguruan tinggi di mata dunia internasional. Itu yang saya dapatkan dari artikel Romi Satria Wahono yang membahas mengenai beberapa macam jenis perangkingan perguruan tinggi, di sini, situ dan sana. Berikut ini salah satu gambaran paramater penilaian :
Gambar yang berisi parameter itu berdasarkan perangkingan The Times Higher Education Supplement (THES)
Selain itu menurut saya, perguruan tinggi yang baik, merupakan perguruan tinggi yang memiliki tingkat sharing knowledge yang tinggi. Baik itu antara :
- dosen-mahasiswa.
- dosen-dosen,
- mahasiswa-mahasiswa, dan
- mahasiswa+dosen-masyarakat.
Sharing knowledge disini berarti transfer kebermanfaatan pengetahuan, skill atau hasil gabungan antara keduanya yang berlanjut. Keberadaan sharing knowledge akan mematangkan perguruan tinggi tersebut. Ketiadaan sebuah sharing knowledge menunjukkan rendahnya pengetahuan yang terdidik dan berkembang.
Selain itu perlu adanya dukungan pemerintah. Tapi ini bukan faktor yang menjadi ketergantungan. Hanya saja, sebuah perguruan tinggi akan menjadi baik dengan adanya dukungan pemerintah. Pengalaman ini saya dapatkan ketika berkunjung ke Korea Selatan, yang saat itu berkunjung antar institusi pendidikan. Keberpihakan pemerintah dalam perguruan tinggi akan semakin mendorong mudahnya lulusan yang dihasilkan untuk diserap industri. Dukungan ini dalam arti baik berupa kurikulum yang sesuai, dan juga sokongan materiil. Tapi, sekali lagi, bagi saya dukungan ini pun diharapkan bukanlah sesuatu yang ditunggu hingga ketergantungan.
Lalu, selain itu semua, biaya pendidikan menjadi bagian yang cukup menyentuh pertimbangan. Walau memang diakui,semakin tinggi kualitas pendidikan, maka semakin tinggi juga biaya yang akan dikenakan. Oleh karena itu, disinilah yang memungkinkan peran pemerintah dan rekanan dunia industri untuk sharing kebermanfaatan, istilahnya ABG (Academic Busineess Government).
Maka bagi perguruan tinggi, mungkin ada beberapa evaluasi yang perlu dilakukan. Memperbaiki kurikulum dan proses pendidikan, memperbaiki kualitas penelitian, memasarkan produk penelitian yang terdapat di perguruan tinggi dengan bahasa yang mudah ke masyarakat, meningkatkan komunikasi ABG (Academic Busineess Government).
Jadi, walau begitu itu, bagi saya secara sifat, perguruan tinggi idaman saya adalah yang bertanggungjawab terhadap figur dan karakter hasil didikan dan lulusan universitasnya, yang pada akhirnya juga bertanggungjawab atas masyarakat sekitar. Karena dengan begitu, perbaikan tanpa henti akan senantiasa terjaga, untuk menjaga “ke-idaman-nya”
Tidak mudah memang kelihatannya. Karena memang, kalau mau diakui menjadi perguruan tinggi idaman bukan sesuatu yang instan. Tapi menurut saya berupa proses, yang di dalamnya mewujud perbaikan, improvement tanpa henti.
3Y4RTRAF7XR4